Posted: 07-09-2016
Teringat kembali di tahun 1997 ketika masih kuliah di semester 4. Sama seperti sebagian besar teman-teman kuliah yang lain, waktu itu saya bercita-cita untuk bekerja di perusahaan besar atau menjadi PNS setelah lulus. Cita-cita ini terpatri kuat di dalam dada dan selalu diingatkan terus-menerus oleh keluarga. Selalu teringat pesan orang tua ketika mau berangkat kuliah, “belajar yang rajin biar nanti bisa jadi pegawai syukur-syukur bisa jadi PNS”. Tidak terasa dalam alam bawah sadar saya selalu membenarkan nasehat keluarga tersebut sehingga menutup diri terhadap peluang lain. Artinya nyaris tidak ada pikiran untuk mencari alternatif pekerjaan setelah lulus selain menjadi pegawai. Maka yang saya lakukan juga lazimnya mahasiswa lain, belajar giat dan mengejar IPK tinggi supaya bisa melamar pekerjaan di tempat yang dicita-citakan.
Persepsi saya mulai berubah ketika bertemu seorang senior yang telah menjadi pengusaha. Sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkannya membuat saya berfikir keras. Dia bertanya: “kalau kamu jadi karyawan mungkin gak gajimu bulan depan naik 500%?, jawabanku: kemungkinannya kecil, gaji PNS saja tidak mungkin naik sebesar itu. Dia melanjutkan: “kalau kamu jadi pengusaha maka kamu bisa menghasilkan berkali lipat dan bisa bermimpi penghasilanmu naik 500% bulan depan”. Pertanyaan tersebut benar-benar menghancurkan beragam impian, keyakinan dan klaim kebenaran yang selama ini saya pelihara. Keyakinan bahwa menjadi pegawai atau PNS adalah jalan terbaik untuk mendapat penghasilan seolah lenyap begitu saja setelah mendengar pertanyaan senior saya tersebut.
Mental wirausaha
Selanjutnya dia menawarkan sebuah usaha gorengan kepada saya dan seorang teman kuliah lainnya. Respon pertama yang saya ajukan adalah “saya pikir-pikir dulu mas”. Ketika akan membuka lapak gorengan, musuh terbesar adalah ketakutan dan keraguan diri sendiri. Rasa malu, takut rugi, tidak peraya diri, malas, dan beragam keraguan menghantui pikiran saya ketika itu. Padahal untuk membuka usaha gorengan modal sudah disediakan. Mulai dari gerobak, peralatan, bahan, dan tenda sudah disiapkan. Intinya Cuma butuh kemauan dan semangat untuk menjalankan usaha itu. Tapi justru persoalan mental dari saya sendirilah yang menghalangi usaha tersebut. Setelah berhari-hari berfikir, akhirnya saya bulatkan tekad untuk menerima tawaran tersebut. Awal memulai usaha jualan gorengan memang berat, tetapi setelah berjalan beberapa waktu rasanya menjadi lebih menyenangkan. Hasil yang besar (untuk ukuran mahasiswa ketika itu) semakin membuat semangat berlipat-lipat.
Pengalaman membuka usaha ketika mahasiswa tersebut memberikan pelajaran berharga. Ternyata persoalan terbesar yang muncul pada calon wirausahawan adalah ketidaksiapan mental. Takut rugi, tidak berani mengambil resiko, malu, malas, dan ragu adalah persoalan mental yang selalu menghantui calon wirausahawan. Persoalan lain seperti permodalan, manajerial dan mencari peluang masih bisa dihadapi. Orang bisa membuka usaha bahkan tanpa modal uang sedikitpun jika ia memiliki semangat dan kemauan keras. Contohnya ia bisa memulai bisnis makelar atau menjualkan produk orang lain. Seorang teman mulanya memulai bisnis dengan modal membuat kartu nama. Dalam kartu nama tersebut dicantumkan kalau dia adalah supplier buah, baju, dan produk lainnya. Caranya dengan menemui pemilik barang dan menawarkan kerjasama pemasaran.
Mulai dari keluarga
Persoalan mental yang dihadapi oleh para calon wirausahawan ini ternyata dibentuk dari mitos-mitos yang dikembangkan di lingkungan keluarga dan pendidikan. Susah, resiko tinggi, kurang menjanjikan, tidak dihormati. Ini juga yang sempat saya rasakan ketika menceritakan proses membuka lapak gorengan kepada orang tua. Mereka tidak melarang tetapi selalu mengatakan kalau lebih baik menjadi pegawai yang mapan, tidak beresiko. Berusaha kecil seperti itu dianggap tidak menjanjikan, dan tidak dihormati.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan sektor jasa yang besar, namun rakyatnya lebih memilih jadi pekerja daripada mengolahnya. Lebih memilih menunggu perusahaan asing mengekslporasi kekayaan alam dan melamar pekerjaan kepada mereka. Persoalan mental ini harus segera dirubah. Mentalitas pekerja yang tertancap kuat dibenak sebagian besar generasi muda bangsa ini harus dirubah. Untuk memulai perubahan tersebut keluarga adalah wadah yang tepat. Nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga akan terus diingat dan menjadi rujukan nilai-nilai hidup seseorang. Memori ini terus terbawa sampai besar sehingga mempengaruhi mental.
Dari keluarga bisa dipupuk mental dan semangat berwirausaha. Caranya dengan menanamkan semangat sukses yang bisa diperoleh dengan beragam jalan. Wirausaha memiliki potensi masa depan yang menjanjikan. Orang tua bisa menceritakan tokoh-tokoh wirausahawan yang sukses sehingga anak termotivasi. Ketika anak sudah mulai termotivasi dukunglah mereka untuk memulai usaha meskipun masih duduk di bangku sekolah. Tujuannya tidak selalu menghasilkan keuntungan materi tetapi lebih utama menguatkan mental dan membuka cara pandang anak tentang dunia usaha.
Ketika mereka ditimpa kegagalan dalam berwirausaha, dukunglah mereka dan yakinkan bahwa mereka telah menempuh jalan yang tepat. Kegagalan adalah bagian dari proses yang harus dilewati. Ajak mereka untuk menganalisa kegagalan tersebut dan merumuskan strategi baru untuk mengembangkan bisnis. Anak-anak yang mendapat dukungan kuat dari keluarganya akan lebih berani menjadi pengusaha daripada mereka yang tidak mendapat dukungan.
Memperbaiki kurikulum pendidikan
Setiap tahun, lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan pengangguran, karena mereka tidak didorong untuk menjadi pelaku wirausaha. BPS mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118 juta. Jumlah Pengangguran di Indonesia mencapai 7,24 Juta Orang. Sebagian dari mereka adalah para sarjana yang masih sibuk menawarkan ijazah setelah lulus kuliah.. Kenyataan ini terlihat nyata dari antrean pelamar PNS yang jumlahnya ratusan ribu setiap tahunnya. Acara Job Fair dan sejenisnya selalu laris manis diikuti anak muda yang baru lulus sekolah. Pendidikan kita menghasilkan mental pegawai karena mayoritas di ruang-ruang kelas itulah yang diajarkan. Guru dan dosen tidak cukup memberikan motivasi yang kuat agar para siswanya mampu mandiri. Di kampus misalnya, banyak perguruan tinggi yang memiliki kurikulum wirausaha, tapi yang terjadi adalah mencetak sarjana wirausaha bukan wirausahawan. Mereka mengetahui teori berwirausaha tapi tidak mampu mempraktekkannya.
Model bisnis inkubator dalam kurikulum pendidikan kita nampaknya harus segera direalisasikan. Misalnya, mata kuliah atau mata pelajaran yang berkaitan wirausaha harus dibarengi dengan praktek yang memadai. Di beberapa universitas sudah menerapkan usaha positif untuk mencetak wirausahawan. Misalnya, dalam satu semester setiap mahasiswa harus memiliki usaha. Jenis dan besarnya usaha bukan menjadi perhatian utama, tetapi keberanian untuk membuka usaha itulah yang dituju. Sinergi antara peran keluarga dan dunia pendidikan akan menghasilkan generasi muda yang memiliki mental kuat berwirausaha. Persoalan mental inilah yang harus menjadi perhatian utama sebagai basis kemamuan orang untuk berwirausaha.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
0 komentar:
Posting Komentar