Posted: 11-07-2016
Akal dalam Al-Quran
Al-Quran menggambarkan dengan jelas fenomena akal pada diri manusia:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Kami telah menjadikan untuk isi neraka Jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak digunakan untuk berfikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih hina lagi, Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’râf [7]: 179).
Ayat ini menjelaskan adanya persamaan antara manusia dan jin dengan hewan; ketika manusia dan jin sama-sama diberi akal, pendengaran dan penglihatan, namun tidak digunakan untuk berpikir, mendengar dan melihat realitas, maka mereka sama dengan hewan. Pada dasarnya mereka tidak sama, tetapi ketika keistimewaan manusia dan jin tersebut tidak digunakan, maka mereka sama dengan hewan. Jika Allah SWT menyamakan manusia dengan hewan, ketika manusia tidak berfikir, berarti hewan memang tidak mempunyai akal. Dengan demikian manusia diberi keistimewaan akal oleh Allah, sedangkan hewan tidak.
Antara Akal dan Otak
Kata ‘akal’ berasal dari bahasa Arab: al-’aql. Arti kata ‘akal’ sama dengan al-idrâk dan al-fikr. Semuanyamutâradif atau sinonim. Akal adalah khâshiyyât (keistimewaan) yang diberikan Allah swt kepada manusia, yang merupakan khâshiyyât otak manusia. Sebab otak manusia mempunyai keistimewaan untuk mengaitkan realitas yang diindera dengan informasi (asosiasi).
Adapun Otak hewan tidak mempunyai khâshiyyât untuk mengasosiasikan realitas dengan informasi. Karena itu, hewan tidak dapat diajar bertingkah-laku baik dan sopan, padahal hewan mempunyai otak, indera, bisa menerima informasi dan diberi realitas. Ini terjadi karena otak hewan tidak bisa mengasosiasikan realitas dengan informasi. Akibatnya setiap informasi yang diberikan pada hewan akan hilang, karena fungsi otaknya tidak sama dengan otak manusia. Inilah bedanya otak hewan dengan manusia.
Otak manusia adalah sesuatu yang ada dalam tengkorak kepala. Benda ini dikelilingi dengan tiga lapis selaput yang dijaring dengan rajutan urat saraf yang jumlahnya tidak terhitung, kemudian saraf tersebut dihubungkan ke seluruh indera dan bagian tubuh manusia. Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram. Otak tersebut menghabiskan 25% oksigen yang diperoleh dari paru-paru. Sebagian saintis bahkan telah sampai pada kesimpulan, bahwa informasi yang dapat disimpan oleh otak manusia mencapai tidak kurang dari 90 juta informasi. Inilah keunikan otak manusia yang tidak dimiliki oleh otak hewan.
Dengan demikian, adalah kesalahan besar ketika membahas akal, akal disimpulkan sebagai organ fisik yang berada di dalam otak, kepala ataupun dada, dengan argumen, bahwa hati ada di dada. Karena fakta membuktikan, bahwa hewan juga mempunyai hati yang ada di dada, namun hewan tetap tidak mempunyai akal. Karena itu, akal sesungguhnya merupakan kekuatan untuk menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang suatu.[1] Kekuatan ini bukan merupakan kerja satu organ tubuh manusia, seperti otak, sehingga akal dianggap sama dengan otak, lalu disimpulkan bahwa akal tempatnya ada di kepala. Tentu kesimpulan ini salah.
Setelah ditelaah secara mendalam dapat ditarik kesimpulan, bahwa kekuatan tadi terbentuk dari empat komponen (realitas terindra, panca indra, otak sehat, dan informasi sebelumnya). Dari keempat komponen inilah kemudian menghasilkan apa yang disebut akal.
Adapun proses kerja komponen tersebut sampai menghasilkan kekuatan yang disebut akal, adalah dengan memindahkan realitas yang telah diindera ke dalam otak melalui alat indera yang ada, dan dengan maklumat (informasi) awal yang ada di dalam otak, realitas tersebut disimpulkan. Pada saat itulah terbentuklah kekuatan untuk menyimpulkan realitas. Inilah esensi akal manusia.[2]
Kekeliruan Teori Sosialis-Komunis dan Masalah Informasi Awal[3]
Di pihak lain, Intelektual Sosialis, secara serius mencoba juga mendefinisikan bahwa akal merupakan kekuatan yang dihasilkan melalui proses merefleksikan realitas ke dalam otak atau otak ke dalam realitas.[4] Tapi dalam definisi tersebut, mereka sengaja menolak informasi awal.[5]
Mereka berpendapat, bahwa akal adalah kekuatan hasil refleksi. Padahal ini adalah pendapat keliru. Sebab otak maupun realitas tersebut sama-sama tidak dapat melakukan refleksi (pantulan) seperti cermin. Yang membawa pantulan objek ke dalam otak tersebut sebenarnya adalah indra. Ini terbukti ketika indera yang digunakan untuk menangkap objek itu adalah mata, maka memori yang tersimpan dalam otak adalah gambar. Berbeda ketika yang menangkap objek tadi adalah hidung, seperti bau busuk, maka memori yang terekam dalam otak berbentuk bau busuk. Juga berbeda ketika objek yang ada ditangkap dengan telinga, seperti bunyi mobil tabrakan, maka memori yang tersimpan dalam otak pun berbentuk bunyi, dan sebagainya. Jadi, refleksi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Yang ada adalah transformasi objek ke dalam otak dalam bentuk memori.
Sedangkan alasan mereka menolak keberadaan informasi awal, sebenarnya karena doktrin mereka yang tidak mau mengakui eksistensi Tuhan. Sebab mengakui adanya informasi awal, berarti mengakui bahwa adanya pemikiran lebih dahulu dibanding dengan adanya realitas. Dari sini akan muncul pertanyaan; dari mana datangnya pemikiran manusia yang pertama? Sebab, kalau hal itu diakui, berarti harus ada Zat di luar diri manusia yang memberikan pemikiran tersebut, dan Zat itu juga bukan merupakan realitas itu sendiri. Tentu saja ini bertentangan dengan doktrin mereka yang menyatakan, bahwa alam atau realitas yang ada adalah azali, tidak memerlukan Zat di luar dirinya. Dengan demikian mereka membuat asumsi, bahwa manusia pertama telah melakukan eksperimen untuk mendapatkan informasi.
Padahal sejatinya, manusia itu bisa berpikir jika terdapat informasi awal. Contohnya, Anak kecil dan orang gila otaknya sama-sama tidak sempurna. Masing-masing otak mereka tidak dapat digunakan untuk mengasosiasikan antara informasi awal dengan memori yang ditransfer oleh alat indera mereka. Akibatnya, baik anak kecil maupun orang gila, sama-sama tidak dapat membedakan realitas yang ada di depannya. Ketika anak kecil memegang batu, batu tersebut akan dimakan, dan orang gila pun akan melakukan hal yang serupa. Keduanya mempunyai otak, tetapi benarkah dengan otak mereka masing-masing realitas di depan mereka secara otomatis dapat disimpulkan? Ternyata tidak. Jika ada orang gila yang dapat melakukannya, tentu karena sisa memori yang masih terdapat dalam otak mereka. Sementara anak kecil tadi sama sekali tidak dapat melakukan apa-apa. Contoh lain, ketika anak kecil tersebut diberi kosakata yang salah, seperti buang air besar dinyatakan dengan sarapan, maka sampai besar anak tersebut akan berkesimpulan bahwa sarapan adalah buang air besar. Semuanya ini merupakan pengaruh informasi awal pada diri manusia.
Hal ini terlihat dari penjelasan Allah kepada Malaikat, ketika Malaikat memprotes Allah swt karena penciptaan Adam. Menurut Malaikat, manusia hanya akan menyebabkan kerusakan dan konflik di bumi. Allah kemudian membantah seraya menyatakan: “Aku Maha Tahu tentang apa yang kamu tidak tahu.” (QS. Al-Baqarah: 30), Allah kemudian membuktikan pernyataan-Nya:
وَعَلَّمَ آدَمَ اْلأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ، قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ، قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian mengajukannya kepada Malaikat seraya berfirman: ‘Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka semuanya jika kamu benar (dengan tuduhan kamu, bahwa kamu lebih tahu).’ Malaikat menjawab: ‘Maha Suci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Bijaksana.’ Dia berfirman: ‘Wahai Adam, sampaikanlah kepada mereka nama-nama mereka semua.’ Apabila Adam selesai menyebutkan kepada mereka nama-nama semuanya itu, Dia berfirman: ‘Bukankah Aku telah beritahukan kepada kamu, bahwa Aku Maha Tahu perkara gaib di langit dan di bumi, serta Maha Tahu apa yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan’ (QS. Al-Baqarah [2]: 31-33).
Ayat tersebut, dengan jelas membuktikan, Malaikat tidak bisa membuat kesimpulan mengenai realitas yang ditunjukkan Allah, sedangkan Adam dapat melakukannya, karena Adam diberi informasi oleh Allah, sedangkan malaikat tidak diberi informasi terlebih dahulu oleh Allah.[6] Jadi, tiada satupun manusia yang dapat mengambil kesimpulan tanpa mempunyai informasi awal.
Dengan mengetahui dan memahami hakikat akal atau pikiran, maka manusia mampu berpikir secara produktif dan proporsional. Manusia menjadi tahu mana yang perlu dipikirkan dan mana yang khayalan, sesuatu yang bisa dipikirkan adalah jika memenuhi empat komponen akal (realitas, panca indra, otak sehat dan informasi awal), jika hilang salah satu saja, maka yang terjadi adalah berkhayal.
Dengan ini, dapat dimengerti begitu pentingnya peran akal, sebagai salah satu potensi manusia dalam mengatur dan mengontrol pemenuhan potensi kehidupan (kebutuhan jasmani dan naluri) manusia, agar berjalan dengan baik, sehingga manusia tidak sama dengan binatang. Dengan catatan akalnya selalu dikaitkan dengan kaidah berpikir Islam, sehingga memiliki kepribadian Islam.
Yan S, Prasetiadi, M.A
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
0 komentar:
Posting Komentar