Posted: 11-07-2016
Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.
Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.
Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling
berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain.
Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah
berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam
membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari
Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam
surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan
dengan Allah di dunia dan akhirat.
Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb
al-Anshârî:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي
الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ
أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ
: تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي
الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ
تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan
aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah
diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi
perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan
shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu
pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa
yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang
dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي
أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya,
maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ
وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang
menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku,
maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung
silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam
Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn, dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ
أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ
كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi
bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi
bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu
akan lebih besar pahalanya”.
Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau
menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau
menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah
silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal
tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya,
meskipun dari orang jauh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ
رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan
yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang
yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun
‘alaihi].
Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat
kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang
baik atas mereka.
Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي
وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ
عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ
وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan
mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan
tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan
tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka
pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau
berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi].
Begitu pula firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ
مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ
لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan
memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan
kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka
tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [ar-Ra’d/13:25].
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali
silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].
Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan
orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya.
Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa
besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat
menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.
Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua.
Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan
durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya.
Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam shahîhain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ
فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang
tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang
menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini
membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang
lain ini membalas dengan menghina ibunya”.
Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita
masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas
mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut
terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka?
Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan,
menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit?
Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?
Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah
merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya,
tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi
menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia
sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang
tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia
bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh
jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya
kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya
sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang
sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan
melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia
tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba
kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau
menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu
termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha,
sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau
menafkahinya.
Para ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris
dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila
orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia
dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk
memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan
dihisab pada hari Kiamat.
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari
memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa
pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan
membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon
ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Diadaptasi oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 505-508
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
0 komentar:
Posting Komentar